Kamis, 23 April 2009

cerita bagian tiga

Aku berbaring terlentang menghadap langit2 kamar kostku. Kamar yang sempit bercat biru yang untungnya membawa kesejukkan di kala aku sedang merengut seperti ini. Kamarku masuk dalam kategori bangunan kost2an elite di daerah selatan yang terlihat megah dari jalan raya. Tapi sayang aku hanya mampu (baca:terpaksa) menempati kamar yang jauh dari kata elite. Kamar senilai 700ribu perbulan itu hanya menyuguhkan lembaran triplek dilapisi seng2 yang membuatku kegerahan jika berlama2 di dalam kamar tanpa pendingin. Rasanya bak sebuah kandang hewan liar yang diragukan kokohnya.
Waktu menunjukkan pukul 4.30 pagi. Lagi2 aku pulang subuh hanya untuk mengerjakan 5 segmen dengan 30 narasi yang ujung2nya selalu diutak-atik dan dirombak ulang oleh produserku. Entah apa maunya dia. “Tulis saja sendiri”, begitulah keluh dalam hati yang selalu gagal kuteriakan, ketika ia seenaknya menghapus hasil kemampuan analisaku merangkai kata-kata kritis untuk berita tak penting, dari seorang selebritis tak penting, yang melulu hadir dalam infotainment yang juga tak penting. Jika bukan karena ponsel sebelas juta hasil pemberian seleb tak penting itu, produserku tak akan mau berlama-lama duduk di bangku murah scriptwriter dan menghaluskan kata-kata hasil pemikiran sentimentalku terhadap seleb yang berhasil nongol 3hari berturut2 di tayangan yang sedang kupegang itu. Muak aku melihatnya. Seronok! Murahan! Sensasional..Puiiiih!!! Mendengar namanya saja tak ingin!!! Habis sudah kata2ku untuk memberikan nada pujian yang dapat melambungkan manusia gila popularitas itu. Jika bukan karena rating yang bagus, dan jalean (begitulah orang2 kantor menyebut uang/barang sogokan) serta unsur ‘pertemanan’, pastinya produserku yang kelewat banci itu tak akan menayangkan berita tak penting dari seleb tak penting itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar