Jumat, 11 Juni 2010

cupu.is.me

Aku, si cupu. Berdiri menghadap cermin dan memandang lama diriku. Bukan untuk berdandan melainkan bertanya mengenai aku. Rambut panjang sebahu, bergelombang, tebal dan kaku. Poni terlempar ke samping. Kacamata dengan lensa tebal dan frame putih. Hidung dengan lubang yang oversize. Pipi bermuatan penuh tanpa bayangan tulang. Mulut dan bibir normal. “Cupu”, begitu berkesannya aku disapa demikian. Sadar ada banyak orang yang berkata seperti itu. Akhirnya aku mendefinisikan diriku sebagai si cupu.
Tak ada yang berusaha aku ubah dari penampilanku tahun demi tahun. Beginilah aku. Tubuh kurus tapi proporsional. Berusaha fashionable tapi hanya dalam imajinasi. Aku bisa me-mix n match-kan pakaian hanya saja tak ada kesempatan. Setelanku hanya jins dan kaos plus keds atau sendal jepit. Begitu. Aku tak pernah maksimal soal gaya, tapi aku bisa berdandan, aku menyenangi fashion dan tren. Hanya senang tapi tak pernah mengaplikasikan. Sekalinya maksimal hanya depan pacar. Kondangan pun acak2an.
Si cupu hanyalah seorang yang menganut nilai-nilai sederhana dari masyarakat Cina. Aku bukan cina. Tapi si cupulah yang Cina. Cina…perhatikan kesederhanaannya. Cina glodok, Cina mangga dua, Cina dagang! (Bukan Cina penipu!!!) Siapa sangka, banyak uang tapi baju yang dipakai itu2 saja. Lebih dari sederhana. Hanya kaos dan celana jins. Mau beli tas baru, sudah ada yang lama. Mau beli baju baru, masih ada yang lama. Mereka menggunakannya sampai benar-benar lusuh hingga akhirnya terpaksa membeli lagi yang baru jika si lusuh sudah benar2 tak layak pandang. Begitu pula si cupu. Seadanya dan apa adanya.
Aku punya mimpi bisa membeli rumah dan mobil. Tak perlu mewah (meski mimpiku terlalu mewah di usia belum mapan). Selalu itu saja yang aku bicarakan ketika aku mendapat uang. Dan aku menyimpannya di bank. Awalnya aku hanya bercanda ketika berkata demikian, tapi sepertinya Tuhan menggiring kalimat-kalimatku seperti sebuah doa.
Mana mobilnya? Mana rumahnya? Teman-teman selalu mencemooh dan tertawa kalau si cupu berbicara begitu. Si cupu tahu bagaimana cara berinvestasi. Aku bukan koruptor yang kebanjiran uang negara lantas langsung beli mobil, rumah, apartemen, pulau! Aku hanya berusaha mengumpulkannya sdikit demi sedikit. Aku memang belum punya apa2. berdoa dan berusaha saja.
“kok lo ga pernah belanja sih?”, Tanya mereka. Mungkin mereka kasihan kepadaku (atau sindiran halus) yang selalu memakai baju itu2 melulu, sepatu sudah menganga, kulitnya mengelupas dan dimakan aspal. Handphone kupakai dr 6 tahun yang lalu, dengan casing yang sudah kelupas sana-sini.
Aku tak pernah berkomentar ketika teman-teman ku total dalam berpenampilan. Aku tidak iri ketika mereka membawa barang belanjaan yang banyak dan branded. Tapi aku juga tak bisa membantu ketika mereka cepat mengalami kesulitan finansial di tengah bulan, berhutang sana sini, gali lobang tutup lobang, tergila-gila akan iming-iming credit card, mabok gerobak diskon alias modis aka modal diskon.
Aku dan si cupu berada di lingkaran setan orang-orang kantoran. Gaji pas-pasan, keinginan macam-macam, akhirnya berujung pada pemaksaan. Sadar akan keadaan social yang lebai, Aku keluar dan mencari peluang di perhotelan. Di sinilah aku menemukan si cupu2 cina. Orang-orang yang humble, mingle, low profile, down to earth. Tujuan mereka hanya bekerja dan mencari uang. Tak perlu repot2 berdandan meniru gaya seleb Hollywood di red carpet, tak perlu high heels atau boots tukang sampah, tak perlu menor seperti lenong lagi manggung. Aku dan si cupu2 mendapat uang berkali2 lipat dari orang kantoran, plus kami mendapatkan tip dari para tamu, kami tak perlu repot2 membeli baju kerja karena diberi seragam plus laundry setiap hari, kami tak perlu bayar makan karena dapat makan (makanan hotel bintang 5 lagi), kami tak perlu berkendaraan karena ada bis antar jemput khusus karyawan, kami dapat suplemen kesehatan setiap 3 bulan. Kami memang mati-matian tapi kami tidak pernah mati soal uang.

*who am i? i am cupu*
*who is cupu? cupu is me*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar