Jumat, 11 Juni 2010

Bapak yang Tak Mengenal Saya dan Tak Tahu Apa-Apa

Sejujurnya saya alergi membicarakan gender. Tapi sepertinya menjadi pleasure buat saya ketika berdebat dengan seorang bapak yang tak saya ingin tahu namanya dalam perjalanan pulang di kereta ekspress. Bapak ini tiba-tiba hadir di samping saya, entah sudah ada sejak saya naik atau setelah saya naik kereta, yang jelas saya tidak memperhatikan dan mengenal dia. Perawakannya sudah tua, mungkin sekitar 50an. Kala itu ia mengenakan batik merah. Gaya bicaranya sangat spontan dan ala kadarnya. Sepertinya ia bicara hanya mengikuti emosi dan kesotoyannya saja (uups maaf!).
Saya pulang training dari Pertamina dan menenteng satu buku pelajaran dengan logo Pertamina terpampang jelas di covernya, bapak itu memulai percakapan dengan bertanya di mana saya bekerja, sepertinya ia terbelalak dengan logo pertamina itu. Di hotel lah saya bekerja. Si bapak mengerutkan dahi. Jadi bukan di Pertamina seperti yang si Bapak duga. Novotel saat ini menjadi tempat saya mengais berlian, Novotel Bogor lebih tepatnya. Hotel yang letaknya jauh dari keramaian kota, di tengah golf resort, sejuk dan sangat nyaman untuk stay. Tapi memang dasar orang awam, ia pikir kalau letak hotelnya terpencil berarti sepi. MICE (meeting, incentive, convention and exhibition) dari situlah hotel ini beromset hebat di hari2 biasa. Sepengalamannya, yang namanya hotel itu hanya ramai sabtu dan minggu saja.. Lantas si bapak berpikir, kalau hotelnya sepi darimana saya dapat uang, mungkin saya sedang melamar ke Pertamina untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan menghasilkan. Itulah pikiran dangkal yang pertama. Hahaha…saya hanya tertawa dan tersenyum. Tak perlulah saya menjelaskan berapa omset Novo per bulannya, atau saya perlu menyebut nominal take home pay karyawan Novo terutama yg bekerja di bagian operational? Hmmm….3x lipat dari gaji karyawan kantor, belum termasuk tip dan insentif.hehehe.
Akhirnya berlanjutlah obrolan kami ke kerjaan saya yang berpindah2, start dari Bali, ke Solo, Bogor dan sebentar lagi Cikarang. it’s really fun to get there, move from one city to another but unfortunatelly he is a conservatif. Ia pikir (lagi2 pikirannya spontan dan ga matang) gimana saya mau dapat jodoh kalau saya pindah-pindah terus kerjanya. Laki mana yang doyan ditinggal-tinggal yang ada lakinya keburu dapet yang lain. Langsung saja saya tembak, oooh jadi Bapak termasuk orang yang ga setia ya. Kalau bapak bisa ngomong gtu berarti Bapak kya gtu. Dia mulai gregori!hihihi… *jail*
Tapi tetep aja dia kekeuh dengan prinsipnya itu. Tanpa mengenal saya, tanpa mengetahui kehidupan pribadi saya, tanpa mengetahui relationship status saya, dia terus mencela pekerjaan saya yang berpindah-pindah. Klimaksnya bermuara pada hubungan asmara. Katanya saya akan berpikir dewasa pada umur 35, saya masih terlalu muda untuk mengerti artinya berkeluarga. Sotoisme nih! Saya bilang tanpa harus menunggu usia pun saya bisa berpikir dewasa detik ini juga, toh kedewasaan tak mengenal usia. Lanjut lagi percakapan kami yang terus membahas laki dan perempuan. Ia mengatakan perempuan yang harus ikut laki-laki. (Amsyooong bgt!). Dimana rasa pengertian sebagai seorang laki2 kalau masalah pekerjaan saja harus debat kusir dulu. Syukur2 kalau penghasilan laki2nya meng-cover semua kebutuhan. Tanpa pria tahu pengeluaran seorang wanita akan lebih bengkak, jadi sudah saatnya wanita juga bekerja minimal untuk menghidupi dirinya sendiri dan tidak melulu bergantung pada hidup suami yang pas-pasan.Saya kembali menyerang, lebih kuat mana laki dan perempuan? Saya yakin kalau Bapak jadi duda pasti bapak ga tahan lama-lama sendiri, Bapak ga bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tapi kalau istri Bapak jadi janda, saya yakin dia akan berusaha jadi single parent dan berjuang membesarkan anak-anaknya sendiri. Lihat saja realita yang ada. Lebih banyak janda yang bertahan jadi single parent ketimbang duda single. Tersipu-sipu juga dia. Akhirnya pembicaraan terhenti di stasiun bojong karena si Bapak harus turun. Rupanya ketika saya berdebat tadi banyak orang yang memperhatikan, rata-rata ibu-ibu dan ada seorang bapak yang duduk di samping saya ikut mengomentari. Mereka setuju dengan saya, berkeluarga berarti berkomitmen, kalau si suami tidak mengijinkan kita bekerja pindah-pindah berarti dia tidak berani berkomitmen karena ia tidak bisa menerima keadaan kita. Laki-laki selalu ingin diperlakukan seperti raja, tapi faktanya perempuan juga ratu dan ingin juga diperlakukan seperti ratu. Jadi hrs ada take and give lah. Balance. Mengingat jaman juga sudah susah. Untuk berjuang sendiri juga makin susah. Jaman You jump I jump udah lewat! Jadi kalau mau bertahan hidup jangan cuma mengandalkan orang lain,tapi mulailah mengeksplor diri sendiri. Tanpa harus membahas gender, apapun pekerjaannya (selama itu halal), dimanapun tempatnya (selama itu membuat nyaman), berapa pun penghasilannya (selama itu mencukupi), at least harus ada waktu untuk si laki dan perempuan ini untuk berkomunikasi, mempertahankan hubungan, dan memperhatikan masa depan tentunya…

::cheers::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar